Catatan Perjalanan ke Timur : FLORES (Bagian II : Wae Rebo)
Di ulasan sebelumnya, saya menjelaskan mengenai perjalanan saya dari Surabaya, mencapai Labuan Bajo, hingga membuat rencana untuk mengelilingi Flores dengan menggunakan mobil, bersama beberapa teman, sekarang saatnya menjalankan rencana tersebut..Let's go guys!!
Pagi itu, hari Jum'at 29 Mei 2015 pada jam 05.30 kami berdua (saya dan Nadya) terbirit-birit bangun dari tempat tidur, packing, mandi dan segera berlari-lari ke depan hostel tempat menginap teman kami yang bernama Gaga tanpa sempat menikmati fasilitas sarapan yang disiapkan oleh pihak hotel karena semalam kami telah membuat janji dengan Gaga, Barry dan Cameroon untuk berangkat tepat pukul 07.00 pagi ini menuju Denge, desa terakhir yang dapat dicapai dengan kendaraan bermotor untuk mulai mendaki menuju Wae Rebo. Waktu yang diperlukan untuk menuju Denge adalah sekitar 6-7 jam jika dari Labuan Bajo, maka kami harus berangkat tepat waktu agar bisa sampai di Denge sebelum pukul 15.00 WITA dan dapat mendaki serta sampai di Wae Rebo sebelum gelap menjelang. Persiapan membawa bekal minuman, menata tas-tas kami di dalam mobil APV sudah selesai, dan ternyata tepat pada pukul 07.30 kami baru beranjak menuju Denge melewati jalan yang berkelok, berbagai desa dengan beraneka ragam landscape-nya mulai dari sawah luas yang menguning, bukit-bukit hijau, laut di kejauhan, pulau Mules di seberang, desa-desa terpencil dengan anak-anak kecil yang menyambut dengan amat ramah dan antusias karena kami berjalan dengan teman yang berasal dari Inggris.
Desa purba di atas awan : Wae Rebo |
Pagi itu, hari Jum'at 29 Mei 2015 pada jam 05.30 kami berdua (saya dan Nadya) terbirit-birit bangun dari tempat tidur, packing, mandi dan segera berlari-lari ke depan hostel tempat menginap teman kami yang bernama Gaga tanpa sempat menikmati fasilitas sarapan yang disiapkan oleh pihak hotel karena semalam kami telah membuat janji dengan Gaga, Barry dan Cameroon untuk berangkat tepat pukul 07.00 pagi ini menuju Denge, desa terakhir yang dapat dicapai dengan kendaraan bermotor untuk mulai mendaki menuju Wae Rebo. Waktu yang diperlukan untuk menuju Denge adalah sekitar 6-7 jam jika dari Labuan Bajo, maka kami harus berangkat tepat waktu agar bisa sampai di Denge sebelum pukul 15.00 WITA dan dapat mendaki serta sampai di Wae Rebo sebelum gelap menjelang. Persiapan membawa bekal minuman, menata tas-tas kami di dalam mobil APV sudah selesai, dan ternyata tepat pada pukul 07.30 kami baru beranjak menuju Denge melewati jalan yang berkelok, berbagai desa dengan beraneka ragam landscape-nya mulai dari sawah luas yang menguning, bukit-bukit hijau, laut di kejauhan, pulau Mules di seberang, desa-desa terpencil dengan anak-anak kecil yang menyambut dengan amat ramah dan antusias karena kami berjalan dengan teman yang berasal dari Inggris.
Kami sempat makan siang di Lembor, di suatu rumah makan Padang. Hal yang unik memang di Flores ini (dari Labuan Bajo hingga Ende), saat saya mencoba mencari restoran atau rumah makan yang menjual makanan khas daerah Flores, saya tidak menemukannya, bahkan saat saya tanya ke sopir kami Bapak Anthonie untuk membawa kami ke restoran yang menjual makanan khas daerah Flores, ternyata beliau bilang tidak ada. Kebanyakan restoran atau rumah makan di Flores ini hanya menjual masakan padang dan masakan chinese food. Harga makanan di rumah makan Padang ini juga standard (sekitar Rp. 20.000,- hingga Rp. 30.000,- per porsi), dan harga makanan dengan lauk ikan laut lebih murah daripada dengan lauk ayam. Saat di Lembor saya sendiri makan dengan lauk ikan laut dan menghabiskan dana Rp. 23.000,- tidak mahal bukan? mengenai minuman, seperti rumah makan yang terdapat di luar Jawa pada umumnya untuk minuman disediakan gratis 1 teko air putih di masing-masing meja. Setelah makan siang, kami perlu menambah ban dengan angin karena akan melewati jalanan yang tidak bisa dibilang mulus, begitulah kondisi jalanan di Flores pada umumnya jika sudah mencapai desa yang agak terpencil, kalau jalanan utama lintas antar kotanya baik kok kondisinya, hanya sangat berkelok-kelok jalurnya. Saat singgah di tukang tambal ban ini, kami ditawari oleh si tukang tambal ban suatu minuman alkohol tradisional yang terbuat dari hasil penyulingan buah dan bunga pohon Lontar, Sofi namanya dan penawarannya sungguh istimewa karena dia meyakinkan kami bahwa Sofi tersebut telah diendapkan dengan janin rusa, sehingga menurut mitos memiliki khasiat bagi yang meminumnya akan mampu berlari kencang seperti rusa. Harga minuman Sofi tersebut adalah Rp 150.000,- per 1.5 L, teman seperjalanan saya Nadia langsung membelinya seketika tanpa berfikir dua kali, "Nanti kita harus minum bersama di Wae Rebo untuk merayakan perjalanan dan pertemanan baru ini" katanya.
Nomor HP yang dapat dihubungi jika hendak tahu lebih banyak mengenai Wae Rebo Gaga, Nadya, Ibu Maria dan saya |
Tas sudah kami kemas, maka perjalanan dapat dimulai dengan melewati jalan setapak yang disusun dari bebatuan besar, lalu selanjutnya melewati sungai yang mengalir cukup deras saat itu sehingga harus hati-hati saat menyeberang, disambut dengan plang berisi informasi mengenai Wae Rebo. Setelah pemanasan beberapa saat maka inilah perjalanan mendaki sebenarnya, karena bisa dibilang tidak terlalu mudah untuk mendakinya bila sama sekali kurang berolahraga, perjalanan mendaki kami selanjutnya ke Wae Rebo diwarnai dengan tanjakan yang kadang curam, kadang landai melewati hutan yang lumayan lebat, di mana di sebelah kiri ataupun kanan bergantian pemandangan antara tebing tanah, bebatuan, juga jurang menganga. Di beberapa tempat disediakan pengaman berupa pagar besi, untuk membuat wisatawan lebih nyaman dan aman. Vegetasi yang ditemui selama perjalanan mendaki pun beragam, mulai dari tetumbuhan besar khas hujan tropis, tanaman pisang hingga tumbuhan kopi saat langkah kaki kami semakin mendekati Wae Rebo. Tips yang dapat saya bagikan untuk menyusuri jalanan setapak di dalam hutan menuju Wae Rebo ini adalah, gunakan sandal gunung ataupun lebih baik jika menggunakan sepatu, karena jika mendaki di sekitar musim hujan, ada kemungkinan bertemu dan dihinggapi pacet yang menggelayut mesra di sela jari-jari kaki, tumit hingga betis, persiapkan membawa jas hujan pula. Sebenarnya jalur pendakiannya sangat jelas, namun untuk menghormati peraturan dan adat istiadat penduduk setempat, alangkah lebih baik jika tetap menggunakan jasa guide.
Gaga dan guide kami menempuh jalan berbatu di awal perjalanan ke Wae Rebo |
Menuju Wae Rebo, melewati sungai yang bisa diminum airnya |
Kalau sudah sampai jembatan bambu ini, artinya sudah dekat dan sebentar lagi akan masuk ke area kebun kopi |
Silahkan membunyikan kentongan terlebih dahulu di gubug ini sebelum memasuki area kampung Wae Rebo |
And here it is, a mystical Wae Rebo village, a hidden treasure |
Perjalanan hampir berakhir (20 menit sebelum jalan menurun menuju Wae Rebo) jika sudah bertemu dengan suatu pondok kayu yang berhiaskan kentongan. Iya, kentongan ini merupakan suatu isyarat yang dipilih oleh penduduk desa Wae Rebo, untuk dipergunakan bagi semua tamu ataupun wisatawan yang akan berkunjung maupun menginap di desa Wae Rebo. Jadi sebelum memasuki desa Wae Rebo, tamu ataupun wisatawan yang berkunjung dengan dibimbing oleh guide yang bersama mereka, akan membunyikan kentongan yang menandakan bahwa akan ada tamu yang berkunjung, sehingga mereka para tetua dan warga dapat bersiap untuk menyambut tamu. Saat memasuki gerbang Wae Rebo, tamu akan diarahkan menuju rumah utama, di dalam rumah yang disebut juga Mbaru Gendang tersebut telah duduk beberapa tetua desa yang akan mengadakan sedikit upacara penyambutan bagi tamu, masing-masing rombongan tamu akan disambut secara tersendiri dan masing-masing kelompok harus memberikan uang sumbangan sukarela (Rp. 50.000,-) yang diselipkan di antara tangan salah satu tetua yang hadir di upacara penyambutan tersebut, setelah upacara berakhir, maka pesan selanjutnya sebelum kita dipersilahkan istirahat, tetua adat mengatakan bahwa para tamu diterima di desa Wae Rebo ini dan telah dianggap menjadi bagian dari penduduk desa.
Suasana di dalam Mbaru Gendang |
Upacara penyambutan telah usai, maka kami dipersilahkan masuk ke rumah lain (Mbaru Niang) yang berada di sebelah rumah utama tempat upacara penyambutan tadi berlangsung. Rumah ini merupakan salah satu rumah yang dipilih atas kesepakatan bersama sebagai tempat menginap tamu maupun wisatawan, umumnya pemilihan rumah tempat menginap tamu tersebut dilakukan bergantian, sehingga rejeki yang masuk terbagi rata, fair enough. Saat itu kami berlima datang ketika langit sudah agak gelap karena memang sudah menjelang jam 6 sore, dan juga hujan gerimis, sehingga kami segera dipersilahkan masuk ke dalam rumah, untuk membersihkan dan menghangatkan diri. Di dalam rumah tempat menginap tersebut sudah disediakan kasur busa tipis di atas lantai rumah yang terbuat dari kayu, selimut yang cukup tebal untuk masing-masing orang dan kopi maupun teh panas yang masih mengepul karena baru saja dibuat saat kami datang. Rumah tempat menginap kami berukuran cukup besar, kira-kira dapat menampung 30 orang dengan nyaman di masing-masing kasur tipis. Di tengah ruangan sudah disediakan sebuah nampan yang berisi beberapa gelas kopi hitam panas yang mengepul uapnya, menandakan baru saja diseduh. Kami segera dipersilahkan untuk mengambil gelas kopi tersebut masing-masing satu, tak sabar rasanya untuk segera menyeruput kopi hitam panas hasil kebun lokal di sore-sore gerimis seperti saat itu di Wae Rebo pula. Sungguh suatu perasaan yang luar biasa merayapi hati saya, karena perjalanan ke tempat ini sudah lama sekali saya impikan. Seperti halnya perasaan saat kita mencapai mimpi-mimpi kita.
Mbaru Niang, tempat kami menginap semalam di Wae Rebo |
Setelah kopi dihabiskan dan masing-masing sudah membersihkan diri, kami mengobrol ringan dengan beberapa bapak penghuni rumah tersebut, memang dalam satu rumah yang cukup besar biasanya dihuni oleh beberapa keluarga. Ada pula saat itu bercakap-cakap bersama kami yaitu seorang pejalan dari Bandung yang sampai desa terakhir di Denge, mengendarai motor sendirian dari Bandung, ada pula kelompok pejalan lain yang berasal dari mancanegara. Tuan rumah kami dengan baik hati menceritakan mengenai asal muasal nenek moyang mereka di Wae Rebo ini dahulu, secara singkat ternyata berasal dari Sumatra Barat yang merantau untuk mencari penghidupan di tanah Flores. Kami diperkenankan pula membaca satu buku mengenai sejarah Wae Rebo, asal muasal leluhur mereka, upacara dan tradisi yang dimiliki oleh masyarakat Wae Rebo, hingga perkembangan desa ini menjadi desa wisata yang diidam-idamkan banyak orang untuk dikunjungi seperti sekarang. Sebenarnya kegiatan minum kopi dan bercengkerama sore hari itu hanya sedikit pengalihan dari perut kami yang keroncongan setelah seharian berjalan naik turun melewati hutan dan bukit untuk menuju Wae Rebo. Ya benar..kami lapar!! sehingga saat hidangan makanan yang diolah oleh ibu-ibu yang sejak kami tadi datang sudah sibuk di dapur mulai diantarkan keluar, kami sudah tidak sabar untuk mengambil pirang dan memindahkan sebakul nasi yang masih mengepul ke dalam piring kami masing-masing. Sebenarnya hidangan sore itu cukup sederhana, yaitu ayam goreng, tumis sayur manisa dan sambal yang pedasnya bisa membuat air mata Cameroon teman kami dari Inggris menetes, tetapi rasanya nikmat sekali makan malam bersama dengan beberapa teman baru seperjalanan di dalam Mbaru Niang di Wae Rebo.
Sedikit saya ceritakan bahwa, makan malam ini memang salah satu fasilitas yang akan kita dapatkan jika kita membayar sebesar Rp. 325.000,- per orang per malam jika akan menginap di Wae Rebo, sebenarnya bisa mendapatkan 3 kali makan dengan biaya tersebut, namun karena kami memutuskan untuk kembali ke Denge esok pagi-pagi sekali, maka kami hanya akan mendapatkan makan malam dan sarapan saja (dua kali makan). Fasilitas lain yang didapatkan adalah kopi ataupun teh saat sore dan pagi hari, kasur tipis dan selimut untuk masing-masing orang, kamar mandi yang bersih dan menyatu dengan alam...ehm apalagi ya dan tentu saja pemandangan spektakuler serta keramahan penduduk Wae Rebo tentunya. Biaya untuk wisatawan yang tidak menginap sebesar Rp. 200.000,- dan saya kurang faham fasilitas apa yang akan diberikan waktu itu. Sedangkan bagi wisatawan yang akan menginap saat diadakan upacara adat Penti (sekitar bulan Agustus hingga September) akan dikenakan biaya sebesar Rp 450.000,-. Tarif ini ditetapkan oleh Lembaga Pariwisata Waerebo pada tanggal 20 Desember 2014 untuk tarif yang akan berlaku di tahun 2015, jika tahun berganti apakah tarif akan berubah lagi, entahlah.
Mbaru Niang yang merupakan rumah adat berbentuk kerucut raksasa dan menjadi daya tarik utama di Wae Rebo ini dulunya berada dalam keadaan tidak terawat dan tidak berjumlah 7 buah seperti keadaan sekarang, namun dengan adanya bantuan seorang arsitek bernama Yori Antar yang datang ke Wae Rebo pada tahun 2008 maka dengan perlahan-lahan desa Wae Rebo ini mulai diperbaiki dan dibantu untuk maju sebagai desa wisata dengan sumber dana yang berasal dari sebuah yayasan. Mbaru Niang dibangun dengan teknik-teknik khusus diantaranya tidak menggunakan paku dan beton namun menggunakan teknik ikatan rotan yang rumit. Mbaru Niang yang kami tempati terdiri dari ruangan utama yang luas, dapat digunakan untuk tidur sekitar 20-30 wisatawan, dan biasanya dipakai sebagai tempat tinggal oleh 6-8 keluarga, lalu ruangan selanjutnya jika kita beranjak lebih dalam, terdapat dapur yang terpisah dengan ruangan utama, dengan tungku dari tanah berbahan bakar kayu, di sebelah kiri rumah juga terdapat kamar mandi yang cukup bersih dan nyaman walau hanya berlapis semen. Di dalam Mbaru Niang, selain bertugas memasak dan menyajikan makanan, mama-mama juga menjajakan kain tenun hasil karya mereka sendiri, madu yang diambil oleh bapak-bapak dari hutan, cabai yang dipetik dari kebun sendiri dan pedasnya minta ampun serta yang tak ketinggalan adalah bubuk kopi hasil kebun yang kami lewati dalam perjalanan menuju Wae Rebo.
Mbaru Niang merupakan daya tarik utama Wae Rebo |
Malam menggelayut semakin larut, namun perjalanan dengan mobil ditambah jalan kaki menelusuri perbukitan sampai sore tidak juga menyulutkan kantuk kami, karena kami sadar ini malam terakhir kami berlima akan bersama di tanah Flores dan Gaga harus segera kembali ke Bandung keesokan hari mengejar pesawat di Labuan Bajo pada sore hari. Tanpa banyak kata, kami segera merapatkan diri ke pintu depan Mbaru Niang lalu sambil menikmati semilir angin yang agak basah karena saat itu hujan, gelas demi gelas Sofi kami teguk malam itu. Sambil bercerita mengenai kehidupan, passion tentang travelling, pekerjaan kami di tempat asal kami masing-masing, keluarga dan cerita apapun akhirnya mengalir dengan deras, ah..tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 23.30 WITA, tanpa sadar satu per satu dari kami akhirnya menguap karena kelelahan yang telah menumpuk sejak pagi baru kami rasakan saat itu. Kami segera merapat ke kasur masing-masing dalam gelap karena semua penghuni rumah yang kami inapi ini sudah terlelap dari tadi. Dalam gelap, udara dingin yang menggigit, terdengar suara gemericik hujan dan binatang-binatang kecil penunggu malam di kejauhan kami terlelap dalam senyum bahagia, mencatat perjalanan hari ini menuju Wae Rebo di dalam mimpi terindah kami masing-masing.
Menanti matahari yang bersembunyi di balik perbukitan |
Pagi apa yang lebih indah dari ini, secangkir kopi hitam di tanah Flores didekap dingin Wae Rebo |
Saya selalu terkesan dengan senyuman tulus mereka, pemuda tanah Flores |
Matahari belum juga terlihat di balik perbukitan Wae Rebo yang indah bagai negeri dongeng, tetapi kami tak mau melewatkan sejenak pun waktu berharga kami di Wae Rebo ini dengan tertidur terlalu lama, maka pada saat waktu di jam tangan menunjukkan pukul 05.00 WITA, kami segera bergegas mengambil pakaian hangat dan kamera untuk mengabadikan proses terbitnya matahari di kampung atas awan ini. Duduk merapat di atas tanah yang agak tinggi di dekat gerbang masuk desa Wae Rebo, kami menanti detik-detik matahari terbit ditemani secangkir kopi hasil seduhan mama-mama di kampung Wae Rebo. Terimakasih Tuhan, mungkin hanya itu yang sanggup saya ucap. Saat matahari sedikit mengintip di ufuk timur, kami lalu meneruskan dengan berbincang sebentar dengan penduduk desa Wae Rebo yang masih menggunakan sarung sebagai penghangat tubuh. Bisa dibilang penduduk asli Flores ini berwajah sangar dan keras, tetapi jangan diragukan kebaikan hatinya jika mereka sudah menawarkan senyum, tulus sekali. Seusai bercengkerama dengan penduduk kampung, ternyata tanpa kami sadari waktu yang kami miliki di Wae Rebo tinggal sedikit lagi, karena mau tidak mau kami harus meninggalkan kampung ini maksimal pukul 07.00 WITA, agar bisa sampai Denge maksimal pada pukul 09.00 WITA. Jadi tanpa ba bi bu, sarapan berupa nasi goreng kami tandaskan, packing barang-barang yang kami miliki di dalam Mbaru Niang, membayar biaya penginapan kepada penduduk pengelola Mbaru Niang dan segera bergegas berjalan cepat menelusuri perbukitan, jembatan bambu, hutan, medan bebatuan kali dan sungai untuk mencapai desa Denge. Inilah perjalanan kami mencapai Wae Rebo, dan walaupun singkat namun amat membekas kesannya di dalam hati. Terimakasih Flores, terimakasih Wae Rebo.
Terimakasih untuk satu malam yang amat berkesan Wae Rebo |
Anak-anak Flores yang amat ramah dan pemberani |
Biaya perjalanan Wae Rebo dimulai dari Labuan Bajo (Jum'at 29 Mei dan Sabtu 30 Mei 2015)
Makan siang di Lembor Rp. 25.000,- per orang
Belanja jas hujan, cemilan, air mineral Rp. 20.000,- per orang
Porter Rp. 200.000,- dibagi 5 orang
Biaya upacara untuk tetua adat Rp. 50.000,- dibagi 5 orang
Biaya menginap di Wae Rebo Rp. 325.000,- per orang
Sewa mobil per hari (sopir+bensin) Rp. 600.000,- dibagi 5 orang
Total semua biaya : Rp. 540.000,- per orang
say, boleh minta cp sewa mobilnya?
BalasHapusBapak Anthonie 081238682000
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusThank you very much for sharing information that will be much helpful for making coursework my effective.
BalasHapusThank you very much for sharing information that will be much helpful for making coursework my effective.
BalasHapus