Catatan Perjalanan ke Timur : Flores (Bagian III : Antara Ruteng dan Ende)
Keindahan Danau Kelimutu saat matahari terbit |
Danau Kelimutu
Masih ingat dengan uang kertas pecahan Rp. 5.000,- yang dicetak pada tahun 1992 ? mungkin ada yang masih ingat, mungkin tidak. Kalau begitu, apa ada yang pernah mendengar mengenai danau tiga warna yang terletak di Pulau Flores ? kalau jawabannya masih tidak, silahkan coba cari di Google saja, karena keindahan danau ini sebenarnya sudah tidak dapat disangkal lagi. Ya Danau Kelimutu ini terletak di Kabupaten Ende, sebuah kabupaten di Pulau Flores bagian selatan, saya sempat mengunjunginya saat perjalanan overland di Pulau Flores pertengahan tahun 2015 silam. Danau tiga warna yang indah ini masuk ke dalam salah satu must visit list di Pulau Flores, yang rencana perjalanannya telah kami susun berlima (Saya, Nadya, Barry, Cameroon dan Gaga) di Labuan Bajo beberapa hari sebelumnya, namun sayangnya Gaga tidak ikut serta dalam perjalanan ke Danau Kelimutu ini.
Cukup dengan tidur singkat 2 jam, karena takut terlalu siang untuk menangkap matahari terbit, pada pukul 04.00 WITA kami segera bersiap-siap, membeli tiket seharga Rp. 7.500,- saja per orang untuk wisatawan lokal, sedangkan untuk wisatawan mancanegara sebesar Rp. 150.000,- per orang. Harga tiket ini berlaku untuk weekend saja. sedangkan harga tiket masuk pada weekday adalah Rp. 5000,- per orang untuk wisatawan lokal dan Rp. 225.000,- per orang untuk wisatawan mancanegara. Cukup jauh juga jarak perbandingan biaya antara wisatawan lokal dan mancanegara ya, entah kenapa saya sendiri tidak pernah bisa menjawab pertanyaan ini jika mengajak teman-teman dari negara lain untuk berkunjung ke salah satu Taman Nasional.
Setelah menyelesaikan perijinan, kami segera masuk ke dalam mobil untuk mencari kehangatan dan berangkat menuju danau, sebelum berangkat ternyata ada seorang mama yang akan berjualan makanan di tempat parkir dekat Danau Kelimutu meminta pertolongan untuk menumpang sampai ke atas, kami tak kuasa untuk menolak. Dalam perjalanan dari gerbang perijinan menuju tempat parkir yang memakan waktu sekitar 20 menit, mama tersebut bercerita mengenai roh-roh yang menjaga danau dan mengucapkan salam permisi di tengah jalan menuju Danau Kelimutu yang dipercayai oleh penduduk setempat sebagai gerbang Perekonde untuk tempat masuknya kami semua ke dunia arwah atau dunia lain (sempat membuat merinding juga rupanya). Tak berapa lama, kami sampai di tempat parkir, sudah ada beberapa mobil yang parkir dan memiliki tujuan sama seperti kami yaitu ingin menikmati pemandangan Danau Kelimutu berlatar belakang matahari terbit. Pada saat itu kondisi tempat wisata tersebut tidak terlalu ramai, tenang dan menyenangkan walaupun hari di mana kami berkunjung adalah hari Minggu.
Perjalanan dari tempat parkir menuju point of view untuk menikmati pemandangan tidak terlalu jauh, hanya memakan waktu sekitar 30 menit, dan tanjakannya juga tidak terjal. Taman Nasional ini sudah dilengkapi dengan anak tangga dan pegangan yang memudahkan pengunjung dari berbagai usia untuk menikmati pemandangan yang indah di puncaknya. Sebelum mencapai anak tangga, dalam perjalanan kita juga disuguhi beberapa macam flora yang terdapat di dataran tinggi, pepohonan yang terawat dengan baik serta area yang bebas dari sampah membuat saya benar-benar terkesan dengan kunjungan saya ke Taman Nasional Kelimutu. Hanya saja memang membutuhkan perjuangan yang lebih untuk mencapai kota Ende (jauuuh book dari Jawa :D). Setelah naik di point of view tertinggi untuk menikmati matahari terbit, saya baru menyadari bahwa, tiga danau yang di foto sepertinya terlihat berdekatan jaraknya, namun kenyataannya hanya dua danau yang berdekatan dan danau yang satu terletak berseberangan. Warna dari ketiga danau tersebut juga tidak sama sepanjang waktu yang menurut penjelasan ilmiahnya, kemungkinan karena ada jumlah dan komposisi mineral yang terkandung dalam kawah dengan kadar berbeda-beda setiap waktu tertentu sehingga menimbulkan manifestasi, warna yang berbeda pada tiap waktu tertentu. Sedangkan menurut kepercayaan penduduk setempat, perubahan warna yang berbeda-beda tersebut dipengaruhi oleh kekuatan gaib dari roh yang berdiam di sekitar danau. Kedua teori dan kepercayaan ini belum pernah dapat dibuktikan oleh siapapun, jadi terserah kamu mau percaya yang mana ? Pada saat itu, saya dapat melihat bahwa warna yang muncul di danau adalah warna biru toska (turqoise), warna biru muda (baby blue) dan warna merah kecoklatan hampir mendekati hitam (seperti minuman coca cola). Sungguh menakjubkan mengamati indahnya warna Danau Kelimutu ini.
Salah satu danau atau kawah yang berwarna biru toska (turquoise) |
Bagian dari danau tiga warna Kelimutu yang terpisah di sisi yang lain berwarna merah kecoklatan |
Setelah makan siang di suatu rumah makan chinese food di Ende, kami segera beranjak lagi ke arah barat, karena waktu saat itu sudah menunjukkan pukul 11.00 WITA dan kami berniat untuk sampai di kampung Bena dekat daerah Bajawa sebelum petang. Di Ende saya tidak sempat mengunjungi Rumah tempat pengasingan Bung Karno karena memang terburu waktu, jadi ada alasan lain kali untuk kembali ke Ende. Selama perjalanan menuju kampung Bena, tidak ada hal lain yang kami lakukan selain tertidur lelap dan baru bangun saat sudah dekat dengan kampung Bena.
Kampung Tradisional Bena
Kampung Tradisional Bena yang indah |
Gunung Inerie yang Berdiri Tegak di sebelah selatan Kampung Bena |
Salah Satu Aktifitas Sore Penduduk Kampung Bena adalah Main Dakon dan Ngemil Daun Sirih |
Kondisi di Tengah Perkampungan Megalitikum dan Hasil Tenunan Untuk Dijual |
Lukisan di Rumah Penduduk Kampung Bena |
Perlengkapan Wajib untuk Mama-Mama Kampung Bena Berisi Daun Sirih, Kapur dan Biji Pinang |
Nadya, Saya dan Dua Mama dari Kampung Bena yang Mencoba Mengajari Kami Cara Mengunyah Daun Sirih |
Perjalanan hari itu kami teruskan dengan target kota Ruteng, entah jam berapapun sampainya kami harus ke Ruteng karena hendak menginap di rumah salah seorang teman masa kuliah. Masih perlu sekitar 4,5 jam untuk mencapai Kota Ruteng dari Kampung Bena, belum waktu yang diperlukan untuk istirahat dan makan malam di suatu kota bernama Borong, sehingga kami akhirnya sampai di Ruteng pukul 22.30 malam. Tidak perlu waktu lama, setelah bersih-bersih singkat, begitu kami mencium bau bantal dan kasur, kami segera tertidur lelap hingga pukul 08.00 WITA keesokan paginya. Tidak banyak rencana perjalanan yang akan kami lakukan di Ruteng, hanya menikmati waktu istirahat kami, reuni sebentar dengan teman masa kuliah dulu dan siangnya kami akan mengunjungi gua bernama Liang Bua, tempat ditemukanya fosil Homo floresiensis. Kedua teman kami dari Inggris yang sangat tertarik untuk mengunjunginya.
Suami dari teman kuliah saya menawarkan untuk nongkrong di suatu warung kopi baru di tengah kota Ruteng yang bernama Mane Kopi dan dia menjamin bahwa kami akan mendapat sajian kopi Flores yang mantap. Maka setelah mandi, sarapan dan merasa segar kembali, kami beramai-ramai menuju warung Mane Kopi yang dibangun dan dikelola dengan penuh cinta oleh seorang putra asli Manggarai. Rasa kopi yang saya rasakan di Mane Kopi ini begitu membekas di lidah dan hati saya, entah kenapa tapi memang kopinya benar-benar enak saya rasakan siang itu, mungkin juga didukung dengan suasana warung berdinding anyaman bambu, diputarnya lagu-lagu lama The Beatles dari kaset (iya kaset yang diputar di tape) dan penyambutan bapak pemilik Mane Kopi yang amat ramah dan bersahaja. Siang yang sempurna di Kota Ruteng.
Beliau bercerita, bahwa sebagai putra asli Manggarai ingin mengembangkan dengan serius warung kopi yang khusus menyajikan kopi asal Flores ini, karena walaupun kopi Flores sudah terkenal sampai jauh ke luar Pulau Flores, namun di Flores sendiri ternyata belum ada kedai kopi asli Flores yang menyajikan biji kopi Flores dengan treatment yang serius. Keseriusan beliau mengelola kedai kopi sederhana tersebut dibuktikan dengan mempelajari ilmu peracikan kopi atau barista dengan mengambil short course hingga ke Jakarta. Biji-biji kopi yang akan diolah dan disajikan untuk penikmat kopi di kedai ini juga diketahui dengan jelas dari mana asalnya, baik dari petani kopi yang dikenal maupun dari kebun sendiri yang dimiliki bapak. Saya sangat merekomendasikan teman-teman pejalan yang melewati kota Ruteng bisa mampir ke kedai kopi Mane ini untuk ikut mendukung niat mulia beliau memajukan pariwisata lokal, setahu saya kedai ini juga sudah masuk dalam salah satu rekomendasi Trip Advisor.
Beliau Dengan Telaten Meracik Kopi untuk Kami (credit to Nadya) |
Terimakasih Atas Penyambutan yang Sangat Hangat Bapak! |
Gua Liang Bua dan Proses Ekskavasi yang Sedang Dikerjakan Oleh Peneliti |
Dua Teman Kami Serius Sekali Memperhatikan Proses Pembersihan Artefak |
Seberapa Perbandingan Tinggiku dengan Hobbit of Flores ? |
Biaya perjalanan mengelilingi Pulau Flores dari Cancar, Ruteng hingga Ende (Per orang)
30 Mei 2015
1. Mengunjungi Cancar (donasi sukarela) @ Rp. 20.000,-
2. Uang tambahan untuk Bensin mobil @ Rp. 100.000,-
3. Air mineral Rp. 5.000,-
4. Makan siang di Ruteng @ Rp. 28.000,-
Total : Rp. 153.000,-
31 Mei 2015
5. Perijinan Kelimutu @ Rp. 10.000,-
6. Makan pagi di Kelimutu @ Rp. 10.000,-
7. Makan siang di Ende @ Rp. 42.500,-
8. Donasi di Kampung Bena @ Rp. 20.000,-
9. Makan malam di Borong @ Rp. 32.500,-
Total : Rp. 115.000,-
01 Juni 2015
10. Biaya guide Liang Bua untuk 1 orang @ Rp. 12.500,-
11. Makan siang di Ruteng @ Rp. 42.500,-
12. Makan malam di Labuan Bajo @ Rp. 27.500,-
13. Kekurangan uang sewa mobil @ Rp. 390.000,-
Total : Rp. 472.500,-
Grand Total pengeluaran 3 hari keliling Flores (Cancar, Ruteng, Ende) : Rp. 740.500,- per orang
Thank you very much for sharing information that will be much helpful for making coursework my effective.
BalasHapusThank you very much for sharing information that will be much helpful for making coursework my effective.
BalasHapus