Apa yang Kamu Ingat tentang hangatnya Ramadhan ?

Suasana Pasar Malam di Johor Bahru Sesudah Idul Fitri yang Mengingatkan Saya akan Suasana Pasar Ramadhan di Indonesia
Bukan tentang travelling  kali ini, tetapi tentang ingatan masa kecil saya beberapa belas tahun lalu, karena tiba-tiba di bulan yang penuh rahmat ini saya ingin menulis dan mengingatnya sebagai bulan yang manis sebagaimana pernah saya rasakan. Saya hidup di Magetan, sebuah kota kecil di lereng Gunung Lawu yang bahkan ketika menyebutkannya pun saya harus ulang dua kali kepada teman yang belum pernah mendengarnya takut disalah artikan dengan Magelang di Jawa Tengah sana. Di Magetan saya tinggal di sebuah desa kecil berbatasan dengan Sungai Gandong, sungai utama yang mengalir di Magetan dan sering dijadikan lokasi bunuh diri (eh..). Seperti pada umumnya desa kecil di Pulau Jawa, di sana pun ditinggali mayoritas oleh penduduk bersuku Jawa dan beragama Islam. Saya dan keluarga saya walaupun memiliki suku Jawa namun sebagai penganut agama Katholik, menjadi minoritas di antara penduduk desa yang tinggal di sana. Saya akan bercerita pengalaman saya melewatkan beberapa masa Ramadhan bersama-sama teman sekampung saat itu, kira-kira enam belas tahun yang lalu.



Saya Selalu Merindukan Suasana Ramadhan di Kampung Dulu (Sumber : Pixabay)
Seingat saya, waktu itu duduk di kelas 2 SMP, yang artinya berumur 14 tahun, punya beberapa kawan dekat yang tinggalnya tidak jauh dari rumah, hanya beda RW (Rukun Warga) aja, yang paling dekat sih namanya Dwi dan Dita, selalu bersama setiap waktu sejak kelas 1 SMP tidak terpisahkan, mulai dari pagi mengerjakan PR bersama sambil nonton MTV Land (ketauan umur kan ye), trus sampai siangan nanti berangkat sekolah bareng-bareng naik angkot, pulang sekolah sore jalan kaki trus nonton serial Putri Huan Zhu, lalu ngobrol sampai gelap, tiap hari begitu tak ada bosannya. Lalu saat tiba saatnya bulan puasa, adalah masa yang menyenangkan karena rasanya waktu itu kami libur sekolah selama sebulan untuk menghormati teman yang beribadah puasa, jadi kebersamaan kami semakin menjadi-jadi. Saya yang tidak ikut berpuasa juga tidak sabar menantikan bulan puasa dan melewatkan bulan puasa bersama mereka pula, apa kegiatannya ?

Menghabiskan Waktu Bersama Sahabat Dekat Setiap Hari Selama 24 Jam Pun Tidak Membosankan (Sumber : Pixabay)
Biasanya subuh-subuh setelah selesai sholat subuh, saya akan ke rumah Dwi lalu bersama-sama ke rumah Dita, bertiga atau bersama-sama teman kami lain yang tinggal dalam satu desa akan berjalan bersama-sama ke alun-alun di tengah kota, berlomba-lomba menyalakan petasan, dan bercengkrama sampai matahari pagi menampakkan diri, setelah itu kami pulang ke rumah masing-masing dan membersihkan diri, saya akan sarapan dan mandi, lalu tidak lama jam 9 pagi kami akan berjanji bertemu lagi bergantian tempat, baik di rumah Dita maupun Dwi, bergosip, curhat, nonton film, apapun hingga siang, saat jam makan siang saya akan pulang ke rumah dan berpisah dengan mereka. Di sore hari waktunya berbuka adalah waktu berkualitas bersama keluarga mereka masing-masing, berbuka, sholat maghrib, tarawih, jadi saya tinggal di rumah sampai mereka selesai tarawih dan setelah tarawih saya akan menghampiri mereka untuk kemudian bertemu lagi, kegiatan seperti ini saya jalani hampir setiap hari dengan mereka tanpa rasa bosan hingga saat kelas 3 SMP Dita harus pergi melanjutkan sekolah di Madiun dan tinggal di sana, sehingga kami jarang melewatkan waktu bertiga lagi.

Dua Orang Berharga yang Memberikan Cerita Berwarna di Masa-Masa Remaja Saya
Waktu berganti dan saya serta Dwi masuk ke SMA yang sama, persahabatan kami semakin erat dan di desa itu, kami menemukan teman-teman sepermainan yang membuat bulan Ramadhan semakin semarak di antaranya Mbak Sri, Mbak Endah, Mas Andry, Mas Andre, Mas Yudhi, Mas Sayid, Mas Agus dan kami menamakan diri "Remaja Masjid" atau Remas karena kebiasaan kami berkumpul di masjid sesudah waktu tarawih hingga menjelang waktu tadarus sampai mendekati tengah malam. Ini benar, saya sangat menantikan dan merindukan Ramadhan walaupun saat SMA seingat saya sudah tidak ada yang namanya libur sebulan seperti saat SMP dahulu. Yang paling saya senangi dari bulan Ramadhan bersama-sama teman Remaja Masjid di desa Mangkujayan adalah kebersamaan kami berkumpul bersama-sama di langgar (masjid kecil) dekat rumah di antara waktu tarawih dan dilanjutkan kegiatan Tadarus. Seperti yang saya ceritakan di awal, saya tidak beragama islam, jadi saya tidak berpuasa bahkan tidak sholat ataupun ngaji tetapi saya senang dan nyaman banget rasanya berkumpul, bercanda dan bercengkerama bersama mereka. Gak ada tuh namanya saya dilarang masuk masjid atau dipandang aneh karena ikut menunggui saat mereka membacakan ayat-ayat suci di dalam kitab mereka dengan merdunya. Tidak ada juga namanya saya diminta puasa kalau kebetulan di siang hari kamu bertemu dan ngobrol, kalau saya mau makan atau minum ya saya lakukan aja, toh ibadah puasa mereka tidak akan berkurang esensinya karena itu. Hal ini kami lakukan tiap hari selama bulan puasa, hingga saat hari terakhir puasa biasanya saya sudah mudik ke kampung nenek di Ponorogo karena harus merayakan Idul Fitri di sana.

Gank Remaja Masjid Goes to Pantai Karanggongso, Tulungagung 
Ini juga yang jarang orang mengerti, saya ikut merayakan Idul Fitri, bukan hanya ikut makan-makan saja tetapi saya juga berkunjung ke hampir semua saudara Orang Tua saya karena memang sebagian besar dari mereka merayakan Idul Fitri. Di desa di Pulau Jawa, saya rasa perayaan Idul Fitri lebih besar artinya daripada sekedar hari raya keagamaan, iya hari raya keagamaan penting tetapi yang justru terasa gempitanya adalah moment berkumpul bersama keluarga besar, entah apapun agamanya siapapun itu tetap akan merayakan Idul Fitri bersama. Kehangatan yang saya ingat di keluarga besar saya saat masa-masa Ramadhan dan Idul Fitri datang adalah biasanya beberapa hari sebelum Idul Fitri, kami sekeluarga besar akan pergi ke Kuburan untuk nyekar anggota keluarga lain yang telah meninggal, lalu malamnya sesudah buka puasa kami semua akan berkumpul untuk membungkus tape ketan yang merupakan hidangan khas dari keluarga besar dari Ayah saya, setelah semua snack dan hidangan khas hari raya terhidang di ruang tamu, maka kami akan beristirahat di rumah masing-masing untuk berkumpul kembali keesokan paginya setelah saudara-saudara yang memang beragama muslim selesai melaksanakan sholat Ied. Rumah almarhum Kakek dan Nenek dari pihak Ayah saya yang berupa joglo memang terkenal sebagai base camp paling besar untuk berkumpul dan menjadi jujugan untuk silaturahmi saat hari raya.

Ritual Nyekar Bersama-sama Tidak Pernah Terlupa

Foto Ini diambil di Hari Raya Idul Fitri tahun 2009 Semasa Kakek dan Nenek Saya Masih Hidup
Lain lagi kehangatan yang saya ingat dari nenek yang paling saya sayangi dari pihak Ibu. Keluarga besar dari Ayah dan Ibu saya memang tinggalnya tidak terlalu berjauhan, sehingga saat Idul Fitri tiba biasanya malam sebelum Idul Fitri saya akan tidur di rumah nenek dari Ibu lalu malam berikutnya dari pihak ayah. Nenek dari Ibu ini juga merupakan muslim, beliau teguh sekali berpuasa selama sebulan penuh selama Ramadhan. Tidak jarang pula beliau berpuasa di tengah anak dan cucu-cucunya yang beragama Katholik dan dengan penuh cinta tetap menyiapkan makanan untuk kami cucunya. Malam takbiran adalah malam yang tak pernah saya lewatkan tanpa berbaring di kamar tidur nenek saya ini, jadi sempat sedih banget beberapa waktu lalu saya gak bisa melewatkan malam takbiran menjelang Idul Fitri dengan tidur bersama beliau karena saya harus jaga shift malam. Saat pagi di hari Idul Fitri datang, nenek akan pergi untuk melaksanakan sholat Ied, lalu kami cucu dan anaknya akan menyiapkan rumah, menata kursi, snack, memasak makanan untuk sarapan sehingga rumah siap untuk menerima tamu yang akan bersilaturahmi dengan nenek dan merayakan Idul Fitri. Kami semua mandi, berdandan rapi dengan baju baru yang biasanya selalu dibelikan oleh nenek, lalu sungkem ke nenek dan juga almarhum kakek saat beliau masih ada.

Moment Ini lo yang Saya Rindukan Saat Lebaran, Kumpul! Foto Tahun 2014

Nenek yang Beragama Islam, Almarhum Kakek yang Beragama Katholik dan Dua di antara Anak-anaknya Ini Beragama Katholik
Saya sangat merindukan hangatnya suasana Ramadhan dan Idul fitri yang bagi saya sendiri terasa lebih dari sekedar perayaan hari besar keagamaan dan milik golongan tertentu, karena yang saya ingat adalah rasa sayang dan cinta yang kita berikan untuk sesama kita tanpa memandang apapun itu namanya agama. Saya hidup dengan suasana dan moment menyenangkan ini selama tiga puluh tahun dan tidak pernah sekalipun teman dekat yang saya sebutkan di atas ataupun keluarga terdekat saya memperlakukan saya tidak adil hanya karena masalah agama. Rasanya hidup rukun seperti ini sudah menjadi nafas dan sesuatu yang alamiah memang terjadi di sekitar kita tanpa ada keharusan menyebutkan saya agama ini lo namun saya juga melakukan ini atau saya agama itu lo tapi saya beri kesempatan ke kamu melakukan ini, tidak seperti itu.
Kalau kata Gus Dur "Tidak penting apa pun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu."
Lebih dari sekedar agama, kebajikan perbuatan kita harusnya lebih didasarkan pada naluri untuk menghormati sesama manusia karena memang kita semua pantas diperlakukan seperti selayaknya manusia, bukan karena atribut apapun entah agama ataupun suku.

Gus Dur, Tokoh yang Selalu Mengajarkan Apa itu Toleransi yang Sebenarnya
Saya sebenarnya tidak suka bicara tentang agama, suku apalagi mayoritas dan minoritas, dan rasanya sudah lelah ya disuguhi berita-berita mengenai permasalahan agama ini terus menerus. Tetapi mengutip tulisan yang dibuat oleh Henry Manampiring, yang menyatakan
" Tenggelamkan berita dan isu kebencian dengan kisah kebaikan, toleransi dan kasih sayang dari kita. Jangan memberi panggung lebih besar kepada orang-orang jahat. Daripada sibuk men-share berita-berita negatif, "Tenggelamkan" itu semua dengan kisah persahabatan, posting aktivitas pertemanan lintas suku dan agama kita. Berikan porsi panggung social media lebih banyak untuk kisah kemanusaiaan dan toleransi daripada kejahatan."  
Jadi mari bicara mengenai kenangan manis tentang toleransi beragama apa yang pernah kamu lakukan atau alami ? 
Udah gak sabar ini rasanya ya bayangin Idul Fitri nanti ketemu teman, saudara-saudara dan makan dan bercanda dan ngobrol...ah masih lama ya, puasa baru seminggu.


Komentar

Postingan Populer